1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tujuan guru mengajar adalah agar bahan yang disampaikannya dikuasai
sepenuhnya oleh semua siswa, bukan hanya oleh beberapa orang saja yang
diberikan angka tertinggi. Pemahaman harus penuh, bukan tiga perempat, setengah
atau seperempat saja. Mendasarkan hasil pelajaran pada kurva normal berarti
bahwa hanya sebagian kecil saja dari anak-anak yang kita harapkan dapat memahami
pelajaran kita sepenuhnya. Sebagian besar sesungguhnya tidak menguasainya.
Bila diinginkan hasil belajar pada seluruh siswa (tanpa kecuali) dapat
mencapai taraf penguasaan penuh (Mastery),
harus diterapkan konsep belajar tuntas (Mastery
learning). Dengan konsep ini, bahan pengajaran diharapkan dapat diserap
secara mastery oleh seluruh siswa. Konsep tentang belajar tuntas pada dasarnya
merupakan landasan bagi strategi belajar mengajar dengan pendekatan individual.
Belajar
tuntas merupakan sebuah kerangka berpikir dalam merencanakan rangkaian
pembelajaran yang dirumuskan oleh John
B. Carrol (1971) dan Benjamin Bloom
(1971). Belajar tuntas yang diberikan dengan cara menarik dan lengkap akan
memungkinkan siswa mencapai tingkat penguasaan yang memuaskan dalam pelajaran
di sekolah. Karya mutahir telah mempertajam ide dan teknologi pembelajaran
kontemporer dimana mastery learning
dapat dilaksanakan.
Belajar tuntas (Mastery learning)
merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan sistematis dan terstruktur,
bertujuan untuk mengadaptasikan pembelajaran pada siswa kelompok besar (pengajaran
klasikal), membantu mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat pada siswa, dan
berguna untuk menciptakan kecepatan belajar (rate of program). Belajar tuntas diharapkan mampu mengatasi
kelemahan-kelemahan yang melekat pada pembelajaran klasikal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas adapun masalah yang akan dirumuskan pada makalah ini
yaitu, bagaimana penerapan model pembelajaran mastery learning dalam proses pembelajaran di kelas?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan
makalah ini yaitu,
untuk mengetahui penerapan model pembelajaran mastery learning dalam proses pembelajaran di kelas.
2.
Pembahasan
2.1
Sebuah Konsep Tentang Bakat (A Concept of Aptitude)
Dasar
teoritis ide mastery learning
didasarkan pada perspektif John Carrols’
tentang pengertian aptitude (bakat). Umumnya bakat dipandang sebagai sebuah
karakteristik yang berhubungan dengan prestasi belajar seorang siswa (semakin
besar bakat yang dimiliki, semakin memungkinkan ia untuk belajar), akan tetapi di
sini dia menemukan bahwa aptitude (bakat/potensi) seorang siswa dalam bahasa
tidak hanya memprediksi tingkat ketuntasan belajarnya dalam waktu yang
ditentukan, tetapi juga memprediksi jumlah waktu yang dibutuhkannya untuk
belajar hingga mencapai tingkat ketuntasan tertentu. Oleh karena itu, Carroll
tidak memandang aptitude sebagai penentu tingkat ketuntasan belajar siswa,
melainkan dia mendefinisikan aptitude sebagai pengukur jumlah waktu yang
diperlukan untuk mempelajari satu tugas hingga mencapai tingkat standar
tertentu dalam kondisi pembelajaran yang ideal. Secara sederhana, dia
mengemukakan bahwa jika masing-masing siswa diberi waktu sesuai dengan
kebutuhannya untuk belajar hingga tingkat ketuntasan tertentu dan dia menggunakan
seluruh waktu yang dibutuhkannya itu, maka dia dapat diharapkan mencapai
tingkat ketuntasan tersebut. Akan tetapi, jika siswa tidak diberi cukup waktu,
maka tingkat ketuntasan belajarnya adalah fungsi rasio antara waktu yang
benar-benar dipergunakannya untuk belajar dengan waktu yang dibutuhkannya.
Sikap
optimis ini diyakini dimana semua siswa, akan mampu untuk menguasai materi
pelajaran secara memuaskan asal kepadanya disediakan sejumlah waktu yang cukup
memadai (kesempatan untuk belajar), materi yang cocok dan pembelajaran yang
tepat. Dengan demikian bakat menjadi panduan utama seberapa banyak waktu yang
dibutuhkan oleh seorang siswa dalam belajar. Bakat juga memberi panduan tentang
bagaimana pembelajaran harus dilakukan karena siswa-siswa yang memiliki bakat
yang berbeda-beda akan belajar secara efisien jika disesuaikan antara gaya
mengajar dengan bakat yang dimilikinya. Oleh karena itu masing-masing siswa
perlu diberikan waktu yang cukup untuk sampai kepada tingkat penguasaan yang
diharapkan. Dan bagi siswa yang tidak sepenuhnya menggunakan waktu yang
disediakan dan tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan waktu yang disediakan
tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian tingkat penguasaan
dalam belajar akan ditentukan oleh waktu yang digunakan dan kesungguhan dalam
belajar, terlebih-lebih jika ditunjang oleh gaya belajar yang cocok dengan
kebutuhan mereka. Selaian itu variabel lain yang turut berperan adalah
ketekunan siswa,kualitas pembelajaran,kesesuaian bahan, kemampuan di dalam
memahami materi serta penerapan pengajaran yang dikelola dsecara baik. Bloom
mentrasformasikan ketentuan ini ke dalam satu sistem dengan karakter sebagai
berikut:
1)
Penguasaan
pelajaran, didefinisikan sebagai seperangkat pencapaian tujuan pengajaran di
sekolah.
2)
Materi
pelajaran dipecah dalam unit-unit kecil dan setiap unit itu disertai dengan
tujuan khusus yang harus dicapai sebagai bagian dari keseluruhan.
3)
Menentukan
materi pelajaran dan memilih strategi mengajar.
4)
Tiap
unit diikuti dengan test diagnostik untuk mengukur kemajuan siswa (evaluasi
formatif) dan mengidentifikasi masalah yang dihadapi setiap siswa. Melakukan
umpan balik terhadap siswa, serta memberikan penguatan.
5)
Data
yang diperoleh dari tes yang dilakukan tadi digunakan untuk memberikan pembelajaran
tambahan pada siswa dalam membantu mengatasi masalah-masalahnya (Bloom, 1971,
pp. 47-63).
Jika
pengajaran disusun dengan cara ini, Bloom percaya, waktu belajar bisa
disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Siswa yang kurang cerdas bisa
diberikan lebih banyak waktu dan umpan balik dalam keseluruhan proses
pembelajaran, kemajuan dapat dimonitor dengan bantuan test.
2.2 Rencana
Pembelajaran Secara Individual (Individually
Prescribe Instruction)
Bloom, Block, dan pengamat (advosasi)
lain percaya bahwa cara belajar seperti ini dapat dilakukan secara sederhana
dengan memodifikasi prosedur pengajaran kelompok, dimana siswa memiliki banyak
waktu dan akan mampu menerima pengajaran secara individual sesuai dari hasil
evaluasi formatif (Carrol, 1997. pp. 37-41) Akan tetapi teknologi pengajaran
modern, khususnya pengembangan unit-unit, multimedia yang di-administrasikan
dan penerapan prosedur belajar yang terprogram, telah mendorong para pengembang
kurikulum untuk menemukan pemahaman sistem kurikulum yang komprehensif dan
me-reorganisasi sekolah-sekolah untuk menyediakan lebih banyak pembelajaran
yang diindividualkan ketimbang organisasi sekolah yang konfensional.
Satu
contoh yang baik dari aplikasi sistem perencanaan terdapat di sekolah dasar dan
sekolah lanjutan pertama (SMP) yang pengajarannya dilakukan secara individual
sangat menentukan di dalam penyusunan program pembelajaran (Individually
Prescribed Intructional), aplikasi ini dikembangkan berdasarkan penelitian
pusat belajar dan pengembangan di Universitas Pittsburgh, yang bekerja sama
dengan Baldwin-Whitehll School District. Di dalam IPI ini siswa biasanya
bekerja sendiri untuk menentukan materi harian (atau untuk beberapa hari),
kegiatan mereka tergantung pada kemampuan dan hasil belajar, gaya belajar, dan kebutuhan
belajar.
2.3 Langkah-Langkah
Di Dalam Program (Steps In The Program)
IPI
mengilustrasikan modular kurikulum (kurikulum dengan menggunakan modul) dengan
sistem aplikasi analisis prosedur terhadap materi pengembangan kurikulum. Ini
merupakan fakta yang bermanfaat adalam belajar kasus sebab fakta ini dapat
didemonstrasikan dengan langkah-langkah perencanaan IPI yang baik dalam
menciptakan sistem ini. Untuk menguji langkah-langkah ini, kita akan mengamati
secara jelas setiap refleksi dari model tersebut. Sistem ini dirancang sebagai
berikut:
1)
Tiap
siswa harus mampu belajar secara baik melalui unit belajar di dalam satu paket
pengajaran.
2)
Tingkat
perkembangan dari penguasaan setiap siswa diamati.
3)
Mengembangkan
keinginan belajar sendiri dan mengarahkan diri sendiri dalam belajar.
4)
Memelihara
perkembangan tentang pemecahan masalah melalui proses-proses.
5)
Mendorong
evaluasi diri dan motivasi belajar (Lindvall and Bolvin, 1966)
Asumsi
pada proses belajar dan hubungannya dengan lingkungan belajar dapat dijelaskan
sebagai berikut:
(langkah
pertama)
1) Satu
hal yang nyata perbedaan diantara siswa adalah jumlah waktu belajar yang digunakan
untuk menguasai pengajaran yang diberikan.
2) Satu
aspek penting lainnya adalah perbedaan individu, sangat berguna untuk menyusun
kondisi dimana setiap siswa mampu belajar dan mengikuti paket-paket pengajaran
serta langkah-langkahnya dalam melaksanakan sejumlah praktek yang dibutuhkan.
3) Jika
sekolah mempunyai tipe materi pelajaran yang dirasa cocok untuk murid (sekolah
dasar), bisa dilaksanakan melalui tutorial yang sedapat mungkin menekankan
untuk belajar mandiri, minimum belajar dari pengajaran guru langsung.
4)
Dalam
belajar melalui pengajaran unit, seorang siswa tidak diharuskan belajar pada
unit baru sampai dia menguasai satu tingkat derajat minimum penguasaan bahan
pengajaran di dalam satu unit sebagai prerequisit (prasyarat).
5) Siswa
diberi peluang dan didorong untuk maju dengan kecepatan individual, hal ini
penting, baik bagi guru maupun siswa bahwa program yang disediakan dalam mengevaluasi
kemajauaan siswa dapat dijadikan dasar dalam pengembangan rencana pembelajaran
individual berikutnya.
6) Guru
yang terlatih secara profesional akan sangat produktif ketika mereka melakukan
tugas-tugas seperti pembelajaran individual atau pembelajaran dalam kelompok
kecil, mendiagnosa kebutuhan siswa dan merencanakan program pembelajaran, dari
pada melakukan tugas-tugas administrasi seperti; melakukan pencatatan,
sekliring tes dsb. Efisiensi dan ekonomisnya program sekolah dapat ditunjang
dengan mengembangkan bantuan administrasi.
7) Tiap siswa diasumsikan
lebih bertanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan program
pembelajarannya sendiri dari pada diatur di dalam kelas.
8) Belajar dapat ditingkatkan, jika siswa diberi
peluang untuk saling membantu satu sama lain (Lindvall and Bolvin, 1996, pp.
3-4).
Langkah kedua
adalah dianalisis ke dalam sasaran perilaku yang diorganisasikan secara
berurutan. Para penyusun IPI yakin bahwa hal-hal yang berurutan ini merupakan
hal yang sangat mendasar dimana karakteristiknya adalah sbb:
a. Setiap tujuan
pengajaran harus menjelaskan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh siswa
yang menunjukkan tingkat penguasaan/keterampilan dari bahan yang diberikan.
Siswa yang memiliki kemampuan rata-rata relatif menguasainya dalam waktu yang
lebih pendek dari periode yang telah ditentukan Tujuan-tujuan harus menggunakan
kata-kata kerja oprasional seperti; pemecahan, menerangkan, mengurut,
menggambarkan dsb dari pada yang bersifat umum seperti mengerti, menghargai,
mengetahui dan memahami.
b. Tujuan Pengajaran harus
dikelompokkan ke dalam materi yang bermakna sebagai Contoh, dalam aritmetika
tujuan dikelompokkan kedalam bidang-bidang numerasi, nilai tempat, penjumlahan,
pengurangan dsb. Pengelom-pokan seperti itu membantu mengembangkan bahan
pelajaran yang bermakna dan memudahkan di dalam mengdiagnosis prestasi belajar
siswa.
c.
Di dalam setiap area
/kelompok tadi, tujuan pembelajaran harus diurut dalam urutan tertentu yang
akan membangun urutan prerequisit (prasyarat).
d. Di dalam setiap urutan
tujuan pada setiap area., tujuan harus dikelompokan ke dalam unit-unit yang
bermakna. Setiap unit dirancang dalam pelaksanaan-nya, sehingga menggambarkan
perbedaan setiap level dan bisa memberikan hasil yang berarti, dimana siswa
nantinya mampu menyelesaikaan satu unit dalam lini tersebut, dan tidak tertutup
kemungkinan siswa bisa saja melangkah keunit berikutnya dalam area itu atau
bisa mengambil satu unit dalam area yang lain. (contoh, untuk melengkapi level
B penjumlahan , murid bisa mengambil pada level C penjumlahan atau pindah pada
level B pengurangan. (Lindvall and Bolvin, 1966,p.3).
Lebih dari 400
sasaran perilaku tertentu dimasukkan ke dalam 13 topik kurikulum matematika
IPI. Setiap 13 bidang dalam
kurikulum matematika memiliki 9 tingkat kesulitan. Dalam setiap tahap dari
topik area yang diberikan, dalam tahapan pengorganisasian beberapa hal mengenai
behavioral obyektif diindentifikasi dan diatur secara berurutan. Rincian dari
13 topik itu dibuat kedalam beberapa pilihan untuk siswa dan guru. Siswa harus
bisa menguasai mendistribusikan materi. Kebanyakan siswa mampu melangkah maju
melalui bahan-bahan studi yang mereka miliki dengan sedikit bantuan dari guru.
Jika seorang guru menemukan anak yang memerlukan lebih banyak bantuan kemudian
guru dapat memberikan bantuan, maka guru mengarahkan siswa /mengajar siswa yang
mengalami kesulitan tadi di kelas yang ukurannya lebih kecil dimana bantuan
yang diberikan kepada siswa tersebut akan lebih membantu secara individual atau
dapat pula dilibatkan dalam pembelajaran kelompok kecil. (Joyce dan
Harootunian, 1967, pp. 83-84). Akhirnya sampailah pada sistem pengelolaan untuk
memonitor kemajuan siswa dan menyesuaikan rencana program yang dibuat, sehingga
dapat melakukan penyesuaian unpan balik yang dapat diberikan pada langkah
berikutnya Pemberian materi kepada siswa dengan sejumlah waktu yang diberikan
termasuk satu latihan akhir, seperti “check
test” atau “tes yang terstandar”. Latihan ini, merupakan bentuk lembar
kerja yang lain, yang memiliki peranan penting atas apa yang akan dilakukan
siswa kemudian. Ketika siswa menyelesaikan materi tersebut, dia bisa
menyerahkan pada petugas untuk diperiksa dan selanjutnya pada guru yang
mengembangkan rencana program pembelajaran. Guru mengadakan pertemuan dengan
siswa, memeriksa hasil kerja siswa, selanjutnya guru mengembangkan perencanaan
berikutnya. Sebagaimana yang kita lihat, variabel peran siswa dalam belajar
secara sungguh-sungguh dapat didefinisikan, kemudian dibuatkan untuk
pengembangan rencana berikutnya. (Joyce dan Harootunian, 1967, p. 84) Dalam
kasus ini sistem pengelolaan, untuk menelusuri kemajuan siswa dan menelaah
fungsi sistem pembelajaran. Sebagaimana juga dalam sebuah bisnis, guru adalah
manajer yang bertanggung jawab untuk menggerakkan sistem dan menyesuaikannya
terhadap kebutuhan individu. Peran guru dalam IPI merupakan perangkat penting.
Guru dapat bertindak sebagai: Pertama; seorang yang dapat mendiagnosis (analisa
IPI yang digunakan, mendiagnosa data setiap siswa, yang bertujuan untuk
menyusun satu program yang sesuai dengan kebutuhan belajar individu), kedua;
sebagai selektor /memilih (bahan-sumber daya manusia-sumber daya material yang
disediakan untuk pelaksanaan (IPI), ketiga; sebagai tutor (membangun pengalaman
belajar yang tepat dan bermakna yang dapat mengarahkan siswa menjadi lebih
mandiri dan tanggung jawab di dalam situasi belajar IPI) (Scanlon and
Brown,1969, p.1) IPI menjadi berbeda dengan apa yang disebut dengan self
contained dimana guru kelas bekerja dengan kelompok anak-anak, guru bertemu
dengan anak dimana ia mempunyai tanggung jawab secara penuh (guru lebih
mendomi-nasi)
2.4 Laboratorium
Bahasa (Language Laboratory)
Contoh lain yang
sangat menyolok dalam sistem pembelajaran adalah laboratorium bahasa.
Perkembangannya diwujudkan dalam aplikasi, kombinasi perlengkapan dalam sistem
analisis, tugas analisis, dan prinsip-prinsip sibernetik di dalam seting
pendidikan. Sebelum laboratorium bahasa menjadi tempat umum untuk belajar,
biasanya guru kelas melayani pengajaran bahasa asing di dalam kelas yang
terdari dari 25 sampai 35 siswa yang mempraktekkan untuk belajar bahasa
(lisan). Individu di dalam setiap situasi seperti ini, mempunyai maksimum 1
menit untuk praktek bicara dalam setiap sesi, hampir tidak cukup untuk
menghasilkan kemampuan bahasa secara lancar atau tepat Saat ini laboratorium
bahasa, dimana siswa menggunakan alat alat elektronik untuk mendengar, merekam
dan mengulang kembali bahan yang telah diucapkannya. Secara umum peralatan
fisik seperti ini termasuk; (stasiun siswa dan central panel) Melalui peralatan central panel, guru dapat menyoarkan
beragam materi pelajaran yang bervariasi, materi baru, program remedial dan
pangajaran secara individual, memilih kelompok-kelompok pada satu kelas. Guru
juga bisa memonitor langsung performa siswa. Melalui stasiun siswa sebagai
peralatan yang bersifat individual dan bersifat akuistik (kedap suara) yang
dilengkapai dengan headphone, microphone dan tape recorder Setiap
siswa mendengarkan instruksi baik yang langsung dari guru maupun instruksui yang
telah direkam dengan heand phone dari instruktur untuk mengulang kata,
menjawab, atau memberi respon terhadap pelajaran, Pengajar bisa juga mengunakan
papan tulis, textbook atau menggunakan stimulus visual untuk menambah input
audio /pendengaran. Teknologi modern telah membuat segala sesuatu menjadi
mungkin untuk segala situasi, dimana siswa memungkinkan untuk:
1)
Mendengar suara mereka
sendiri lebih jelas melalui headphones.
2)
Secara langsung
membedakan pembicaraan mereka dengan model yang didengar.
3)
Memberikan feedback
dengan segera.
4)
Memilih item untuk
dipelajari.
5)
Mencoba latihan-latihan
yang lebih khusus.
6)
Memperbaiki isi
pengajaran.
Mempelajari bahasa asing menghendaki siswa untuk
mendengar kosa kata dan pola pengucapan/pembicaraan yang berulang-ulang. Latihan-latihan
dilakukan secara hati-hati/terus menerus dan diikuti oleh tingkat kombinasi
kesulitan yang berpariasi Tujuannya adalah agar siswa bisa dengan cepat
memahami apa yang dibaca dan apa yang di dengar untuk segera membuat respon
yang cocok dari kacamata siswa, laboratorium bahasa merupakan basis dimana bisa
menjembatani kegiatan praktek agar berjalan dengan baik, mempertemukan model
oral, dan mengembangkan kepasihan berbicara. Dari kacamata pengajar, ini
merupakan satu fasilitas (perangkat keras dan perangkat lunak) agar lebih
efektif dalam mengajar bahasa.
Dalam
terminologi analisis sistem, laboratorium bahasa merupakan pengembangan untuk
manusia dengan menggunakan mesin sebagai pra-sarana untuk meningkatkan
pengajaran, dan untuk menguasai kemampuan berbahasa asing. Ditinjau dari
perkembangannya laborotorium bahasa memberikan berbagai peralatan materi
visual. Tetapi elemen penting dari pelatihan bahasa (latihan pendengaran secara
individual dan unpan balik dinamik) dinamikanya jauh di luar kapasitas pengelolaan
manusia karena dukungan fasilitas dari guru kelas untuk mengajar 25 siswa.
Dengan perangkat keras dan lunak tadi akan mendukung bantuan subsistim,
sehingga instruktur dapat membagi waktu lebih efektif antara memonitor
(manageman), diagnosis dan pembelajaran. Siswa diberikan umpan balik, sehingga
mereka bisa membedakan kemampuan yang mereka miliki dengan kemampuan yang
seharausnya. Banyak program saat ini yang cocok melalui komputer pribadi dan
bisa menciptakan miniatur laboratorium bahasa yang berfungsi sebagai model
pengajaran. Untuk komputer tanpa sound
cards, misalnya pengejaan fonetik, speling
(ejaan) digunakan untuk membantu pengucapan. Untuk komputer dengan sound cards, yang dapat mengeluarkan
bunyi atau kata dan prase. Mastery
learning (belajar tuntas) telah diselidiki secara ekstensif oleh Slavin’s
(1990) mengulas analisis literatur secara umum yang setuju dengan Kulik, Kulik,
dan Bengert Drowns’s (1990) analisisnya adalah bahwa labor bahasa bisa
meningkatkan gaya belajar yang secara konsisten relevan dengan kurikulum
(rata-rata siswa kira-kira 65% yang digambarkan dengan siswa yang berada
dikelompok kontrol dengan belajar materi yang sama melalaui modul pengajaran) tetapi
dengan menggunakan tesstandar, sebetulnya dibantah dengan alasan tidak dipahami
dengan baik.
2.5 Sebuah Catatan Untuk
Pembelajaran Terprogram (A Note On
Programmed Instruction)
Banyak program
belajar tuntas menggunakan pembelajaran terprogram, sebagai satu sistem untuk
merancang bahan/materi dalam pembelajaran mandiri (self instructional). Ini adalah satu dari aplikasi langsung diilhami
dari tulisan Skinners. Ini memberikan stimulus yang sistematis untuk mengontrol
dengan segera. Meskipun pada awalnya, konsep yang digagas skinner ini mengalami
beberapa kali perubahan, namun ada tiga gagasan awal yang masih dipertahankan
dan digunakan secara luas yaitu: (1) Item-item disusun secara berurutan baik
berupa pernyataan maupun pertanyaan yang diharapkan siswa dapat bertanya dan
memberi respon (2) respon siswa mungkin disediakan dalam bentuk mengisi form
(jawaban yang kosong) di dalam format, mengulangi jawaban terhadap satu
pertanyaan /recalling, memilih jawaban diantara jawaban-jawaban yang disediakan
atau memecahkan sebuah masalah dan (3) Memberikan respon yang segera,
kadang-kadang di dalam format program itu sendiri terdapat perbedaan-berbedaan
antara program yang terdapat dalam buku pelajaran dengan yang ada dalam tenaga mesin.
Penelitian
mutahir dalam pembelajaran terpogram menunjukkan bahwa penyimpangan dari faktor
esensial dapat terjadi, tetapi perbedaannya tidak signifikan Hal ini seperti
terlihat dalam perkuliahan terprogram yang kurang mendapat respon dari siswa
merupakan salah satu contoh. Di dalam program pembelajaran mandiri, dimana
setiap siswa dihadapkan kepada bahan yang sama meskipun disesuaikan dengan
kondisinya, ini tidak menunjukkan sebagai program yang diindividualkan (
seperti dalam IPI)
Oleh karena itu
dikembangkan apa yang disebut dengan program “pencabangan” (Branching Program) di dalam Branching Program siswa yang lambat
(tidak dapat memberikan respon yang tepat terhadap hal-hal tertentu) mungkin
membutuhkan tambahan informasi atau review tentang latar belakang informasi
itu. Disisi lain, seorang siswa yang telah mahir dan mudah menerima informasi
dapat mengambil keuntungan dengan memperoleh tambahan materi yang lebih sulit.
Dalam beberapa hal, program pencabangan ini secara otomatis langsung ditujukan
kepada siswa untuk setiap sekuen/urutan tergantung pada pilihannya. Jika dalam
seleksi siswa merespon salah, maka kesalahan umum dan alasannya dicatat; bila
siswa merespon dengan benar, maka diberikan contoh yang lebih sulit. Program
pengajaran yang telah dilaksanakan dengan sukses dalam berbagai mata pelajaran
termasuk bahasa inggris, matematika, statistik, geografi, dan ilmu sosial.
Pengembangan ini telah digunakan pada setiap tingkat sekolah mulai dari
preschool sampai tingkat akademik. Teknik-teknik pembelajaran terprogram telah
diaplikasikan terhadap keberagaman tingkah laku sebagai contoh: formasi konsep,
belajar yang dihapalkan (menghapal), kreativitas dan pemecahan masalah.
Beberapa program pengajaran memberi kebebasan kepada siswa untuk menemukan
konsep diri, menggunakan format dan mengingatkan kepada siswa untuk berpikir
induktif. Bagaimanapun program pengajaran seperti ini berbeda dengan
pelaksanaan pengajaran secara tradisional, dimana guru kelas telah menggunakan
metode tradisional secara bertahun-tahun, dan ternyata tidak memberi pengaruh
yang signifikan pada guru tersebut?. Dengan menggunakan buku pelajaran
(tradisional) yang penekanan pada latihan dari pada penguasaan yang bersifat perilaku
( respon siswa dipertahankan) dari pada menerima tingkah laku secara hati-hati
dalam pemberian materi). Buku kerja lebih kurang memberikan “kerangka” hanya
pengulangan materi saja. Secara nyata, mempunyai nilai kurang kecuali, jika
tingkah laku sebelaumnya sudah terbentuk. Buku pelajaran tradisional tidak
dirancang untuk penguasaan yang bersifat perilaku. Pelajar hanya
mengulang-ulang bahan yang sesungguhnya telah dikuasai Akhirnya kebanyakan buku
pelajaran tidak memberi unpan balik secara segera, hanya mengcopy/meniru
jawaban-jawaban yang diberikan oleh guru.
3.
Penutup
3.1
Simpulan
Penguasaan
belajar tuntas adalah
bersifat optimis dan jelas Untuk menciptakan sistem belajar tuntas memerlukan
pengembangan yang hati-hati tetapi positif di dalam iklim sosial, sistem ini
secara langsung bisa mendekati banyak persoalan dalam belajar, yang telah
mendorong guru di dalam pembelajaran. Belajar tuntas telah menempatkan guru
sebagai orang yang dapat membangkitkan semangat siswa, dan membangun
kepercayaan diri siswa secara lebih positif.
3.2
Saran
Pendidik dapat memahami pengetahuan
mengenai pendekatan Mastery
learning, serta
dapat memanfaatkannya dan menerapkannya selaku seorang perencana/ perancang instruksional pengajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Joice, B., Weil, M.,
& Calhoun, E. (2009). Models of
teaching (8th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education,
Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar