PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tuhan
menciptakan segala sesuatu tidak ada yang tidak ada manfaatnya, mulai yang
terkecil hingga yang paling besar, termasuk alam semesta dan segala isinya.
Alam fana ini yang diciptakan Tuhan secara esensinya, di dalamya terdapat
beraneka ragam ciptaan. Apabila semua itu dikaji dan diinterpretasikan,
dihasilkan sesuatu yang dapat diambil oleh manusia, sekaligus menjadi suatu
teori dalam mengonstribusikan suatu ilmu.
Ontologi secara ringkas membahas realitas
atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti
membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi
memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk
itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir
didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan
realitas.
Realitas
alam merupakan objek yang sangat aksidental untuk digunakan dalam suatu kajian
filsafat. Sesuatu yang abstrak pun yang tidak dapat dilihat oleh pancaindra
(yang kemudian disebut metafisika), bisa menjadi suatu kajian filsafat.
Fenomena alam yang telah terjadi atau sedang terjadi dalam fenomena sosial
empirik untuk mendapatkan hakikat kebenaran yang sebenarnya. Telah banyak ahli
atau tokoh ilmuwan yang karena didasari dari keraguan, mencoba untuk mencari
solusi dengan metode risetnya. Untuk mendapatkan kebenaran yang ingin
diperolehnya, ia mendata segala sesuatu yang ada dalam dunia untuk dijadikan
kajiannya. Apa yang harus dikaji, tentunya bisa sesuatu yang sangat abstrak pun
dalam wacana atau konsep yang sudah baku, dengan potensi manusia dapat dikaji
dalam menelusuri suatu kebenaran, misalkan saja, Al-Quran dan Al-Hadis.
Manusia
dengan akal pikirannya dan pancaindranya akan berfungsi apabila dapat
memikirkan, memahami, melihat, mendengar dari segala bentuk fenomena alam,
secara metafisik atau empirik untuk dipahami dan dikaji, karena dengan
pemahaman itu, hasilnya akan dirasakan oleh manusia itu sendiri.
Banyak
sekali realitas alam ini, Al-Quran dan manusia yang menjadi aksidental dengan
Tuhan untuk dijadikan bahan kajian dalam mencapai suatu kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh semua lapisan publik dan dapat diterima secara logis
oleh semua kalangan.
Rumusan Masalah
Masalah dalam
makalah ini dirumuskan sebagai berikut,
1.
Bagaimana
Ontologi itu?
2.
Apakah
Metafisika?
3.
Apakah
Asumsi?
4.
Apakah
Peluang?
Tujuan
Tujuan dalam penulisan
makalah ini antara lain,
1. Untuk mengetahui Bagaimana Ontologi itu?
2. Untuk mengetahui Apakah Metafisika?
3. Untuk mengetahui Apakah Asumsi?
4. Untuk mengetahui Apakah Peluang?
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi secara
etimologi (bahasa) berasal dari kata “onta” yang berarti sesuatu “yang
sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya” dan “logos” yang
berarti “studi tentang”, “studi yang membahas” (Ihsan, 2010: 223). Jadi
ontologi adalah studi yang membahas sesuatu yang ada. Secara sungguh-sungguh
ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang
mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdalam, ontologi membahas
asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff dalam Ihsan, 2010: 223)
Objek material ontologi
adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi yang ada sebagai wujud
konkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah
memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia,
dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontoologi adalah refleksi terhadap kenyataan
yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya.
Dengan demikian,
ontologi berarti sebagai suatu usaha intelektual untuk mendeskripsikan
sifat-sifat umum dari suatu kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan
yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam
aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat di capai; teori tentang sifat
pokok dan struktur dari kenyataan (Mudhofir dalam Ihsan, 2010: 224).
Untuk Aristoteles ada empat dimensi ontologis yang berbeda,
1. Menurut berbagai kategori atau cara menangani
yang sedang seperti itu
2. Menurut kebenaran atau kesalahan (misalnya emas
palsu, uang palsu)
3. Apakah itu ada dalam dan dari dirinya sendiri
atau hanya 'datang bersama' oleh kecelakaan
4. Sesuai dengan potensinya, gerakan (energi) atau jadi kehadiran (Buku
Metafisika Theta).
Menurut Ensiklopedi Britannica
Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being/wujud
seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan
metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real
nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda
tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)
Beberapa filsuf,
terutama dari sekolah Plato, berpendapat bahwa semua kata benda (termasuk kata
benda abstrak) mengacu kepada badan ada. filsuf lain berpendapat bahwa kata
benda tidak selalu entitas nama, tetapi beberapa memberikan semacam singkatan
untuk referensi untuk koleksi baik benda atau peristiwa. Dalam pandangan yang
terakhir, pikiran, bukannya merujuk pada suatu entitas, mengacu pada koleksi
peristiwa mental yang dialami oleh seseorang; masyarakat yang mengacu pada
kumpulan orang-orang dengan beberapa karakteristik bersama, dan geometri
mengacu pada koleksi dari jenis yang spesifik intelektual. Aktivitas Di antara kutub realisme dan
nominalisme, ada juga berbagai posisi lain, tetapi ontologi apapun harus
memberi penjelasan tentang kata-kata yang mengacu kepada badan usaha, yang
tidak, mengapa, dan apa kategori hasil. Ketika seseorang berlaku proses ini
untuk kata benda seperti elektron, energi, kontrak, kebahagiaan, ruang, waktu,
kebenaran, kausalitas, dan Tuhan, ontologi menjadi dasar untuk banyak cabang
filsafat
Menurut Suriasumantri dalam Rock (2011: 4) Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita
ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang
“ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan,
a.
Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
b.
Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c.
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Menurut Soetriono & Hanafie dalam Rock (2011: 4) Ontologi yaitu
merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi
obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta
penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek
formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang
dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan
keberadaan.
Menurut Pandangan The Liang Gie dalam Rock (2011: 4) Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari
sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan,
a.
Apakah artinya ada, hal ada?
b.
Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
c.
Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d.
Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari
kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian
universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada?
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa
didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang antara lain,
1.
Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau
jamak?
2.
Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas)
tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Fungsi atau manfaat
dalam mempelajari ontologi antara lain,
1.
Berfungsi sebagai
refleksi, kritis, atau objek ataun bidang garapan, konsep-konsep,
asumsi-asumsi, dan postulat-postulat ilmu.
2.
Dunia empiris itu dapat
diketahui manusia dengan pancaindra.
3.
Fenomena yang terjadi
di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal (Anshari dalam
Ihsan, 2010: 224)
Ontologi menjadi
penting sebab, pertama, kesalahan suatu asumsi, akan melahirkan teori,
metodologi keilmuan yang salah pula. Kedua, ontologi mmebantu ilmu untuk
menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren.
Ketiga, ontologi membantu memberikan masukan informasi untuk mengatasi
permasalahan yang tidak mampu di pecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Ontologi Ilmu dalam
Konteks Filsafat Ilmu
a.
Realitas empirik
berupa,
1.
Gejala alamiah yang
menghasilkan ilmu-ilmu eksak
2.
Gejala sosial yang
menghasilkan ilmu-ilmu kemasyarakatan
3.
Gejala budaya yang menghasilkan
ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya ideal dan empirik
b.
Objek kajian ilmu
adalah objek kajian ilmu yang telah di paparkan di atas
c.
Masalah yang akan
diteliti. Masalah memiliki kesenjangan antara das sollen dan das
sain.
Klasifikasi ontologi di antaranya adalah
1.
Ontologi pada dataran
transenden, yakni hakikat proses adanya
kebenaran berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan
2.
Ontologi pada dataran
ideal yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam
bentuk gagasan, ide, konsep. Ontologi pada dataran ini memunculkan aliran
idealisme, rasionalisme dan eksistensialisme.
3.
Ontologi pada dataran
empiris, yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontologi
pada dataran ini memunculkan aliran empirisme, naturalisme, realisme,
positivisme dan materialisme.
2. Metafisika
Metafisika berasal dari
kata “meta” berarti sesudah dan “fisika”
berarti nyata/alam fisik. Dengan kata lain metafisika adalah cabang filsafat
yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata.
Metafisika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat
mendasar yang berada di luar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala
sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi dalam Gie (2012: 4) metafisika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan” (beyond nature) yang
berada di luar pengalaman manusia (immediate experience). Metafisika
mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal yang biasa yang berlaku pada
umumnya (keluarbiasaan) atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang
berada di luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.
Ditinjau
dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan
hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala
sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh
pancaindera.
Aristoteles
menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang
berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang
filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu
metafisika menjadi inti filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa
masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan.
Oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang
metafisik tetap tersangkut di dalamnya.
Tafsiran
paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat
wujud-wujud bersifat supernatural dan wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa
dibandingkan alam nyata.
Animisme
(roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan
contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Naturalisme
yaitu paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat
supernatural. Materialisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala
alam tidak disebabkan oleh pengaroh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang
terdapat di alam itu sendiri.
Lain
lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum mekanistik melihat gejala alam
termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala fisika semata. Sedangkan menurut
kaum vitalik, hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif
dengan proses tersebut di atas.
Menurut
Conny Semiawan, dkk dalam Gie
(2012: 4), metafisika dimasukkan ke dalam ontologi filsafat ilmu. Dengan
demikian, ontologi di dalam filsafat ilmu menyelidiki segala kemungkinan dari
kenyataan yang terjadi.
Dalam
memahami metafisika umum (ontologi) ada beberapa aliran/pandangan pokok pikiran
yaitu:
1.
Aliran
Monoisme
Paham
monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluroh kenyataan itu hanyalah
satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal,
baik yang asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham monoisme kemudian dibagi menjadi
2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme.
Aliran
materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran ini sering juga disebut sebagai naturalisme, menurutnya zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme
disebut juga spiritualisme berarti serba roh/“idea” yang berarti sesuatu yang
hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang
beranekaragam ini semua berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk
dan menempati ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan
rohani.
Beberapa
tokoh yang tergolong pada aliran materialisme adalah Thales, Anaximandros dan
Anaximenes. Sementara tokoh aliran idealisme adalah Plato.
2.
Aliran
Dualisme
Aliran
ini mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu
materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun roh sama-sama
merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya roh, begitupun roh muncul
buka karena materi.
Aliran
dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam hakikat sebagai sumbernya.
Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi (hule)
dan bentuk (eidos). Pengertian materi dalam aliran ini berbeda dengan
pengertian materi yan dipahami saat ini. Menurut Aristoteles, materi adalah
dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur
bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa. Materi
dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum.
Tiap benda yang dapat diamati disusun dari materi. Oleh karena itu materi
mutlak diperlukan bagi pembentukan segala sesuatu. Di lain pihak, dapat
dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum
ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud/menjadi
ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena
kekuatan yang membentuknya.
Sedangkan
bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia
ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkret, yang adalah
penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos adalah asa yang berada di dalam
benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang
menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut meja,kursi, dll).
Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai dengan realitas
ide, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda konkret.
Demikianlah,
materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa
bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap
benda
yang diamati disusun dari bentuk dan materi.
3.
Aliran
Pluralisme
Aliran
ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
Dalam metafisika
membicarakan tentang “ada umum” segala sesuatunya itu ada dalam realitas,
sehingga terdapat bermacam-macam hal, tetapi yang bermacam-macam itu semuanya
ditangkap dalam adanya, dan dengan demikian pula terdapat “ada yang
bermacam-macam” dan “ada yang umum’. Mungkinkah dalam ada itu terdapat suatu
dasar yang menjadi dasar dari segala “yang ada”. Karena “yang ada” itu luas,
maka The Liang Gie dalam bernadien (2011: 55) ‘yang ada” itu dapat digolongkan
menjadi dua hal yaitu,
1. Ada secara ontologis, yaitu membicarakan
teori mengenai sifat dasar dan ragam kenyataan, misalnya; usaha para filsuf
dalam mengungkapkan makna eksistensi dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah
hakikat ada itu? Apakah klasifikasi dari yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan
dan ada terakhir? Apakah objek fisis, pengertian universal, abstraksi, bilangan
dapat dikatakan ada? Dan pertanyaan lain sebagainya.
2. Ada secara kosmologis, yaitu membicarakan
tentang teori umum mengenai proses kenyataan. Kosmologi menyelidiki jenis tata
tertib yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah untuk segala
sesuatu yang menjadi ada, selalu ada sesuatu sebab yang menentukannya menjadi
seperti apa adanya dan bukan sebaliknya (tata-tertib sebab) atau apakah hanya
ada kebetulan yang murni ataukah tata-tertib teleologis yang mengandung
penyesuaian sarana-sarana kepada tujuan-tujuan.
Metafisika dan
Pendidikan
Metafisika merupakan
bagian dari filsafat spekulatif. Yang menjadi pusat persoalannya adalah hakikat
realitas akhir. Metafisika mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
berikut,
1. Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional? Apakah alam semesta memiliki
makna?
2. Apakan yang dinamakan jiwa itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau
hanyalah suatu bentuk materi dalam gerak?
3. Apakah semua perilaku organisme, termasuk manusia telah ditentukan, atau
memiliki kebebasan?
4. Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Apa yang diharapkan dalam hidup ini?
Apa yang akan dituju manusia?
5. Apakah alam semesta ini terjadi dengan sendirinya atau ada yang
menciptakan?
Mempelajari metafisika
bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk mengontrol secara implisit tujuan
pendidikan, untuk mengetahui dunia anak, apakah ia merupakan makhluk rohani
atau jasmani saja atau keduanya. Seorang filosof pendidikan, tidak hanya tahu
tentang hakikat dunia di mana ia tinggal, melainkan juga ia harus tahu hakikat manusia,
khususnya hakikat anak. Dalam hal ini Brubacher dalam Sadulloh (2011: 76)
mengemukakan bahwa “The educator and especially the education philosophers
not only know the nature of the world in which we life and learn, but must also
know the generic traits of the human leaner”
Metafisika memiliki
implikasi-implikasi penting untuk pendidikan karena kurikulum sekolah
berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai realitas. Dan apa yang kita
ketahui mengenai realitas itu dikedalikan/didorong oleh jenis-jenis pertanyaan
yang diajukan mengenai dunia. Pada kenyataannya, setiap posisi yang berkenaan
dengan apa yang harus diajarkan disekolah di belakangnya memiliki suatu
pandangan realitas tertentu, sejumlaj respons tertentu pada
pertanyaan-pertanyaan metafisika.
3. Asumsi
Asumsi adalah suatu
pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya, atau kemungkinan benarnya
tidak tinggi. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin
(2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu
pengetahuan adalah menentukan asumsi
pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum hendak
melakukan penelitian. Dalam mengembangkan asumsi harus diperhatikan dua hal :
1.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan
pengkajian displin keilmuan. Asumsi yang seperti ini harusoprasional, dan
merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2.
Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan
sebagaimana adanya „bukan‟ bagaimana keadaan yang seharusnya.”
Asumsi yang
pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua
adalah asumsi yangmendasari telaah moral. Seorang ilmuwan harus benar-benar
mengenal asumsi yang dipergunakan dalamanalisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda akan berbeda pula konsep pemikiran
yangdigunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian
keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini
kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita
berbedapenafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka
untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas.
Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya,
sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal
memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyaiasumsi yang berbeda maka
dapat diusahakan pemecahannya. Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal,
yakni Axioma, Postulat dan Premise. Axioma adalah pernyataanyang disetujui umum
tanpa memerlukan pembuktian karena kebenarannya sudah membuktikan sendiri.
Postulatadalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian,
atau suatu fakta yang hendaknyaditerima saja sebagaimana adanya. Sedangkan
Premise adalah pangkal pendapat pada suatu sentimen. Selain Asumsi,
istilah lainnya yang biasa dipakai dalam komunikasi ilmu pengetahuan adalah Presumsi.
Presumsi adalah suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau
percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai benar atau
walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar.
Setiap ilmu
memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu
permasalahan menjadi luas. Asumsi ini diperlukan karena pernyataan asumtif
inilah yang akan memberi arah dan landasan bagi setiap kegiatan penelaahan
kita. Sebuah pengetahuan, baru dianggap benar selama orang-orang sepakat
bisamenerima asumsi yang dikemukakan. Semua teori selalu mempunyai asumsi-
asumsi, baik yang dinyatakansecara tersurat maupun yang tercakup secara
tersirat (Suriasumantri, 2001: 6).Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai
obyek empiris. Seseorang baru bisa menerima suatu pengetahuan keilmuan mengenai
obyek empiris tertentu selama orang-orang lain menganggap bahwapernyataan
asumtif ilmu mengenai obyek empiris tersebut benar. Dan ilmu selalu membangun
anggapan bahwaobyek- obyek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai
sifat keragaman, memperlihatkan sifatberulang yang kesemuanya itu saling jalin-
menjalin secara teratur.Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai suatu objek
empiris.Pertama, menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan
antar satu sama lain.Kedua, beranggapan bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan yangketiga adalah Determinisme,
yaitu asumsi ilmu yang menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu
kejadianyang bersifat kebetulan. Setiap gejala akan mempunyai suatu pola
tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang relatif
memiliki kesamaan.
Hipotesis merupakan asumsi, jika diperiksa ke
belakang (backward). Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan
kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah
payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang
digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah.
Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena
hujan. Dengan
demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu
pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam
pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian
sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi
berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang
sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat 3 jenis asumsi menurut Hornby (1974)
yaitu: (1) aksioma, pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian
karena kebenaran sudah membuktikan sendiri, (2) postulat, pernyataan yang
dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya
diterima saja sebagaimana adanya, (3) premise, pangkal pendapat dalam suatu
entimen. Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan
dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik yaitu:
a.
Deterministik
Karakteristik
deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh: William
hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat
empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada
lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan
asumsinya banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama
dengan 12 jam. Satu jam adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai
saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun
jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan
menghasilkan carbon dioksida (Suriasumantri, 1990).
b.
Pilihan Bebas
Manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam
yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada
bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam
melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin
banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu
suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya.
Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu
membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas,
semua tergantung ruang dan waktu (Suriasumantri, 1990).
c.
Probabilistik
Pada
sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya
berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu.
Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat
deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan
modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode
statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti
suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%,
sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya
kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat
deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi (Suriasumantri, 1990).
4. Peluang
Dalam
menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah
mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum
kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada
paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat
khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di
antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik
merupakan jalan tengahnya.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar
pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang
bersifat relatif. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat
hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Salah satu referensi dalam mencari kebenaran,
manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut
yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode
ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu
tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih
dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa “…ilmu tidak
pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang
bersifat mutlak” (Suriasumantri, 1990). Oleh karena itu manusia yang
mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa
yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat
ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat
ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat
ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu
menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya
selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang
bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran
yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa
besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu
tersebut.
Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa
Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang
(probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan
probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan
peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang.
Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan
keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu
akan sangat berlainan.
PENUTUP
Kesimpulan
Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek,
property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi
pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi
adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika.
Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang
“ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini
sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari
ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi
saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal
yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas
jawaban tentang apakah alam ini.
Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan
menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin
memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar
belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai
merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk
menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk
menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin (2002) menyatakan hal yang
mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan
asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum
melakukan penelitian.
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal
yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan
pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
DAFTAR
RUJUKAN
Bernadien, Win
Usuluddin. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ihsan, A Fuad.
2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta
Rock, Histeria.
2011. Definisi Aksiologi,Ontologi Dan Epistemologi. http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html diakses 5 Oktober 2013 Pukul 17.25
Sadulloh, Uyoh.
Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung: Alfabeta
Sartika, Gie.
2012. Ontologi: metafisika, asumsi dan peluang. http://gieekazone.blogspot.com/2012/10/ontologi-metafisika-asumsi-dan-peluang.html diakses 5 Oktober 2013
pukul 17.56
Solihin. 2007. Perkembangan
Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus