Rabu, 05 Februari 2014

Ontologi (Metafisika, Asumsi, dan Peluang)



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak ada yang tidak ada manfaatnya, mulai yang terkecil hingga yang paling besar, termasuk alam semesta dan segala isinya. Alam fana ini yang diciptakan Tuhan secara esensinya, di dalamya terdapat beraneka ragam ciptaan. Apabila semua itu dikaji dan diinterpretasikan, dihasilkan sesuatu yang dapat diambil oleh manusia, sekaligus menjadi suatu teori dalam mengonstribusikan suatu ilmu.
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Realitas alam merupakan objek yang sangat aksidental untuk digunakan dalam suatu kajian filsafat. Sesuatu yang abstrak pun yang tidak dapat dilihat oleh pancaindra (yang kemudian disebut metafisika), bisa menjadi suatu kajian filsafat. Fenomena alam yang telah terjadi atau sedang terjadi dalam fenomena sosial empirik untuk mendapatkan hakikat kebenaran yang sebenarnya. Telah banyak ahli atau tokoh ilmuwan yang karena didasari dari keraguan, mencoba untuk mencari solusi dengan metode risetnya. Untuk mendapatkan kebenaran yang ingin diperolehnya, ia mendata segala sesuatu yang ada dalam dunia untuk dijadikan kajiannya. Apa yang harus dikaji, tentunya bisa sesuatu yang sangat abstrak pun dalam wacana atau konsep yang sudah baku, dengan potensi manusia dapat dikaji dalam menelusuri suatu kebenaran, misalkan saja, Al-Quran dan Al-Hadis.
Manusia dengan akal pikirannya dan pancaindranya akan berfungsi apabila dapat memikirkan, memahami, melihat, mendengar dari segala bentuk fenomena alam, secara metafisik atau empirik untuk dipahami dan dikaji, karena dengan pemahaman itu, hasilnya akan dirasakan oleh manusia itu sendiri.
Banyak sekali realitas alam ini, Al-Quran dan manusia yang menjadi aksidental dengan Tuhan untuk dijadikan bahan kajian dalam mencapai suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan oleh semua lapisan publik dan dapat diterima secara logis oleh semua kalangan.

Rumusan Masalah
Masalah dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut,
1.      Bagaimana Ontologi itu?
2.      Apakah Metafisika?
3.      Apakah Asumsi?
4.      Apakah Peluang?

Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini antara lain,
1.      Untuk mengetahui Bagaimana Ontologi itu?
2.      Untuk mengetahui Apakah Metafisika?
3.      Untuk mengetahui Apakah Asumsi?
4.      Untuk mengetahui Apakah Peluang?

PEMBAHASAN

1.    Pengertian Ontologi
Ontologi secara etimologi (bahasa) berasal dari kata “onta” yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya” dan “logos” yang berarti “studi tentang”, “studi yang membahas” (Ihsan, 2010: 223). Jadi ontologi adalah studi yang membahas sesuatu yang ada. Secara sungguh-sungguh ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff dalam Ihsan, 2010: 223)
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi yang ada sebagai wujud konkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia, dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontoologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya.
Dengan demikian, ontologi berarti sebagai suatu usaha intelektual untuk mendeskripsikan sifat-sifat umum dari suatu kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat di capai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan (Mudhofir dalam Ihsan, 2010: 224).
Untuk Aristoteles ada empat dimensi ontologis yang berbeda,
1.      Menurut berbagai kategori atau cara menangani yang sedang seperti itu
2.      Menurut kebenaran atau kesalahan (misalnya emas palsu, uang palsu)
3.      Apakah itu ada dalam dan dari dirinya sendiri atau hanya 'datang bersama' oleh  kecelakaan
4.      Sesuai dengan potensinya, gerakan (energi) atau jadi kehadiran (Buku Metafisika   Theta).

Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being/wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)
Beberapa filsuf, terutama dari sekolah Plato, berpendapat bahwa semua kata benda (termasuk kata benda abstrak) mengacu kepada badan ada. filsuf lain berpendapat bahwa kata benda tidak selalu entitas nama, tetapi beberapa memberikan semacam singkatan untuk referensi untuk koleksi baik benda atau peristiwa. Dalam pandangan yang terakhir, pikiran, bukannya merujuk pada suatu entitas, mengacu pada koleksi peristiwa mental yang dialami oleh seseorang; masyarakat yang mengacu pada kumpulan orang-orang dengan beberapa karakteristik bersama, dan geometri mengacu pada koleksi dari jenis yang spesifik intelektual. Aktivitas Di antara kutub realisme dan nominalisme, ada juga berbagai posisi lain, tetapi ontologi apapun harus memberi penjelasan tentang kata-kata yang mengacu kepada badan usaha, yang tidak, mengapa, dan apa kategori hasil. Ketika seseorang berlaku proses ini untuk kata benda seperti elektron, energi, kontrak, kebahagiaan, ruang, waktu, kebenaran, kausalitas, dan Tuhan, ontologi menjadi dasar untuk banyak cabang filsafat
Menurut Suriasumantri dalam Rock (2011: 4) Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan,
a.         Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
b.        Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c.         Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia  (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

Menurut Soetriono & Hanafie dalam Rock (2011: 4) Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.

Menurut Pandangan The Liang Gie dalam Rock (2011: 4) Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan,
a.         Apakah artinya ada, hal ada?
b.        Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
c.         Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d.        Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari  kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada?

Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang antara lain,
1.        Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2.        Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontologi antara lain,
1.        Berfungsi sebagai refleksi, kritis, atau objek ataun bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan postulat-postulat ilmu.
2.        Dunia empiris itu dapat diketahui manusia dengan pancaindra.
3.        Fenomena yang terjadi di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara kausal (Anshari dalam Ihsan, 2010: 224)
Ontologi menjadi penting sebab, pertama, kesalahan suatu asumsi, akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula. Kedua, ontologi mmebantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren. Ketiga, ontologi membantu memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu di pecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.

Ontologi Ilmu dalam Konteks Filsafat Ilmu
a.         Realitas empirik berupa,
1.         Gejala alamiah yang menghasilkan ilmu-ilmu eksak
2.         Gejala sosial yang menghasilkan ilmu-ilmu kemasyarakatan
3.         Gejala budaya yang menghasilkan ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya ideal dan empirik
b.        Objek kajian ilmu adalah objek kajian ilmu yang telah di paparkan di atas
c.         Masalah yang akan diteliti. Masalah memiliki kesenjangan antara das sollen dan das sain.
Klasifikasi ontologi di antaranya adalah
1.        Ontologi pada dataran transenden, yakni hakikat proses adanya
kebenaran berdasarkan nilai-nilai ketuhanan
2.        Ontologi pada dataran ideal yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan, ide, konsep. Ontologi pada dataran ini memunculkan aliran idealisme, rasionalisme dan eksistensialisme.
3.        Ontologi pada dataran empiris, yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontologi pada dataran ini memunculkan aliran empirisme, naturalisme, realisme, positivisme dan materialisme.

2.    Metafisika
Metafisika berasal dari kata meta” berarti sesudah dan “fisika” berarti nyata/alam fisik. Dengan kata lain metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata.
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi dalam Gie (2012: 4) metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan” (beyond nature) yang berada di luar pengalaman manusia (immediate experience). Metafisika mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan) atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada di luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.
Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan. Oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya.
Tafsiran paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat supernatural dan wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa dibandingkan alam nyata.
Animisme (roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaroh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri.
Lain lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum mekanistik melihat gejala alam termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala fisika semata. Sedangkan menurut kaum vitalik, hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.
Menurut Conny Semiawan, dkk dalam Gie (2012: 4), metafisika dimasukkan ke dalam ontologi filsafat ilmu. Dengan demikian, ontologi di dalam filsafat ilmu menyelidiki segala kemungkinan dari kenyataan yang terjadi.
Dalam memahami metafisika umum (ontologi) ada beberapa aliran/pandangan pokok pikiran yaitu:
1.        Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluroh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham monoisme kemudian dibagi menjadi 2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme.
Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut sebagai naturalisme, menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme disebut juga spiritualisme berarti serba roh/“idea” yang berarti sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beranekaragam ini semua berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani.
Beberapa tokoh yang tergolong pada aliran materialisme adalah Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Sementara tokoh aliran idealisme adalah Plato.
2.        Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun roh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya roh, begitupun roh muncul buka karena materi.
Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi (hule) dan bentuk (eidos). Pengertian materi dalam aliran ini berbeda dengan pengertian materi yan dipahami saat ini. Menurut Aristoteles, materi adalah dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa. Materi dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari materi. Oleh karena itu materi mutlak diperlukan bagi pembentukan segala sesuatu. Di lain pihak, dapat dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud/menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena kekuatan yang membentuknya.
Sedangkan bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkret, yang adalah penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos adalah asa yang berada di dalam benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut meja,kursi, dll). Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai dengan realitas ide, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda konkret.
Demikianlah, materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap
benda yang diamati disusun dari bentuk dan materi.
3.        Aliran Pluralisme
Aliran ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
Dalam metafisika membicarakan tentang “ada umum” segala sesuatunya itu ada dalam realitas, sehingga terdapat bermacam-macam hal, tetapi yang bermacam-macam itu semuanya ditangkap dalam adanya, dan dengan demikian pula terdapat “ada yang bermacam-macam” dan “ada yang umum’. Mungkinkah dalam ada itu terdapat suatu dasar yang menjadi dasar dari segala “yang ada”. Karena “yang ada” itu luas, maka The Liang Gie dalam bernadien (2011: 55) ‘yang ada” itu dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu,
1.      Ada secara ontologis, yaitu membicarakan teori mengenai sifat dasar dan ragam kenyataan, misalnya; usaha para filsuf dalam mengungkapkan makna eksistensi dengan pertanyaan-pertanyaan: apakah hakikat ada itu? Apakah klasifikasi dari yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan dan ada terakhir? Apakah objek fisis, pengertian universal, abstraksi, bilangan dapat dikatakan ada? Dan pertanyaan lain sebagainya.
2.      Ada secara kosmologis, yaitu membicarakan tentang teori umum mengenai proses kenyataan. Kosmologi menyelidiki jenis tata tertib yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah untuk segala sesuatu yang menjadi ada, selalu ada sesuatu sebab yang menentukannya menjadi seperti apa adanya dan bukan sebaliknya (tata-tertib sebab) atau apakah hanya ada kebetulan yang murni ataukah tata-tertib teleologis yang mengandung penyesuaian sarana-sarana kepada tujuan-tujuan.

Metafisika dan Pendidikan
Metafisika merupakan bagian dari filsafat spekulatif. Yang menjadi pusat persoalannya adalah hakikat realitas akhir. Metafisika mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut,
1.      Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional? Apakah alam semesta memiliki makna?
2.      Apakan yang dinamakan jiwa itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau hanyalah suatu bentuk materi dalam gerak?
3.      Apakah semua perilaku organisme, termasuk manusia telah ditentukan, atau memiliki kebebasan?
4.      Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Apa yang diharapkan dalam hidup ini? Apa yang akan dituju manusia?
5.      Apakah alam semesta ini terjadi dengan sendirinya atau ada yang menciptakan?
Mempelajari metafisika bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk mengetahui dunia anak, apakah ia merupakan makhluk rohani atau jasmani saja atau keduanya. Seorang filosof pendidikan, tidak hanya tahu tentang hakikat dunia di mana ia tinggal, melainkan juga ia harus tahu hakikat manusia, khususnya hakikat anak. Dalam hal ini Brubacher dalam Sadulloh (2011: 76) mengemukakan bahwa “The educator and especially the education philosophers not only know the nature of the world in which we life and learn, but must also know the generic traits of the human leaner”
Metafisika memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan karena kurikulum sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai realitas. Dan apa yang kita ketahui mengenai realitas itu dikedalikan/didorong oleh jenis-jenis pertanyaan yang diajukan mengenai dunia. Pada kenyataannya, setiap posisi yang berkenaan dengan apa yang harus diajarkan disekolah di belakangnya memiliki suatu pandangan realitas tertentu, sejumlaj respons tertentu pada pertanyaan-pertanyaan metafisika.

3.    Asumsi
Asumsi adalah suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya, atau kemungkinan benarnya tidak tinggi. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek  sebelum hendak melakukan penelitian. Dalam mengembangkan asumsi harus diperhatikan dua hal :
1.      Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin keilmuan. Asumsi yang seperti ini harusoprasional, dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2.      Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya „bukan‟ bagaimana keadaan yang seharusnya.”
Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yangmendasari telaah moral. Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalamanalisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda akan berbeda pula konsep pemikiran yangdigunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbedapenafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyaiasumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya. Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, yakni Axioma, Postulat dan Premise. Axioma adalah pernyataanyang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenarannya sudah membuktikan sendiri. Postulatadalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknyaditerima saja sebagaimana adanya. Sedangkan Premise adalah pangkal pendapat pada suatu sentimen. Selain Asumsi, istilah lainnya yang biasa dipakai dalam komunikasi ilmu pengetahuan adalah Presumsi. Presumsi adalah suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap sebagai benar atau walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar.
Setiap ilmu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi luas. Asumsi ini diperlukan karena pernyataan asumtif inilah yang akan memberi arah dan landasan bagi setiap kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan, baru dianggap benar selama orang-orang sepakat bisamenerima asumsi yang dikemukakan. Semua teori selalu mempunyai asumsi- asumsi, baik yang dinyatakansecara tersurat maupun yang tercakup secara tersirat (Suriasumantri, 2001: 6).Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai obyek empiris. Seseorang baru bisa menerima suatu pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris tertentu selama orang-orang lain menganggap bahwapernyataan asumtif ilmu mengenai obyek empiris tersebut benar. Dan ilmu selalu membangun anggapan bahwaobyek- obyek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifatberulang yang kesemuanya itu saling jalin- menjalin secara teratur.Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai suatu objek empiris.Pertama, menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan antar satu sama lain.Kedua, beranggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan yangketiga adalah Determinisme, yaitu asumsi ilmu yang menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu kejadianyang bersifat kebetulan. Setiap gejala akan mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang relatif memiliki kesamaan.
Hipotesis merupakan asumsi, jika diperiksa ke belakang (backward). Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan. Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat 3 jenis asumsi menurut Hornby (1974) yaitu: (1) aksioma, pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri, (2) postulat, pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya, (3) premise, pangkal pendapat dalam suatu entimen. Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik yaitu:
a.       Deterministik
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan asumsinya banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam. Satu jam adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan carbon dioksida (Suriasumantri, 1990).
b.      Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu (Suriasumantri, 1990).
c.       Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi (Suriasumantri, 1990).
4.    Peluang
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa “…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Suriasumantri, 1990). Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut. 
Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.

PENUTUP

Kesimpulan
Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.
Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

DAFTAR RUJUKAN

Bernadien, Win Usuluddin. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ihsan, A Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta
Rock, Histeria. 2011. Definisi Aksiologi,Ontologi Dan Epistemologi. http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html diakses 5 Oktober 2013 Pukul 17.25

Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung: Alfabeta

Sartika, Gie. 2012. Ontologi: metafisika, asumsi dan peluang. http://gieekazone.blogspot.com/2012/10/ontologi-metafisika-asumsi-dan-peluang.html  diakses 5 Oktober 2013 pukul 17.56

Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia

1 komentar: