Rabu, 05 Februari 2014

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme



1.        PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Filsafat, selain memiliki lapangan tersendiri, ia memikirkan asumsi fundamental cabang-cabang pengetahuan lainnya. Apabila filsafat berpaling perhatiannya pada sains, maka akan lahir filsafat sains. Apabila filsafat menguji konsep dasar hukum, maka akan lahir filsafat hukum dan apabila filsafat berhadapan dan memikirkan pendidikan, maka akan lahirlah filsafat pendidikan.
Filsafat berusaha untuk memahami realitas secara menyeluruh, dengan menjelaskannya secara umum dan sistematis. Begitu pula dengan filsafat pendidikan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam memilih tujuan dan kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama filsafat mengkoordinasi hasil-hasil penemuan sains yang berlainan dan berbeda-beda, maka filsafat pendidikan menafsirkan penemuan-penemuan tersebut berkaitan dengan pendidikan.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lainnya. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran dalam filsafat itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai filsafat pendidikan eksistensialisme.

2.        PEMBAHASAN
2.1    Definisi filsafat
Secara etimologis, kata filsafat memiliki arti yang sepadan dengan kata “falsafah” dalam bahasa Arab atau kata “philosophy” dalam bahasa Inggris, atau kata “philosophie” dalam bahasa Perancis dan Belanda, atau “philosophier” dalam bahasa Jerman. Semua kata itu berasal dari kata Latin “philosophia” sebuah kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan “philosophien” sebagai kata kerjanya. Kata “philosophia” berasal dari bahasa Yunani, yakni ”philein” (mencintai) atau “philia” (persahabatan, atau tertarik kepada…) dan “Sophos”  (kebijaksanaan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Kata yang hampir sama dengan “philien” atau “philia” dan “Sophos” tersebut juga dijumpai dalam bahasa Latin, yaitu: “philos” (teman atau sahabat) dan “Sophia” (kebijaksanaan)
Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta atau kecenderungan akan kebijaksanaan, atau cinta secara mendalam akan kebijaksanaan atau cinta sedalam-dalamnya akan kearifan atau cinta secara sungguh-sungguh terhadap pandangan, kebenaran (love of wisdom or love of the vision or truth)
Sementara itu, secara terminologis filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat dapat pula dimengerti sebagai proses reflektif dari budi manusia yang mengarah pada kejelasan (clarification), kecerahan (enlightenmen), keterangan (explanation), pembenaran (justification), pengertian sejati (insight), dan penyatupaduan (integration). Filsafat dalam arti formal biasa dipahami sebagai proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah hasil akal manusia untuk mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
2.2    Definisi filsafat pendidikan
Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany (dalam Sadulloh, 2011: 71) adalah:
“Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis”

Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a)      Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya
b)      Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan
c)      Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses social
d)     Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya Al-Syaibany (dalam Sadulloh, 2011: 72) berpandangan bahwa filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memahami sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha juga membahas tentang segala yang mungkin mengarahkan proses pendidikan.
Kneller (dalam Sadulloh, 2011: 72), filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan.Seperti halnya filsafat, filsafat pendidikan dapat dikatakan spekulatif, preskiptif, dan analitik.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan dalam pandangan dan kaidah bidang pendidikan yang berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, masyarakat, dan dunia, menentukan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam lapangan pendidikan.
2.3    Filsafat pendidikan Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Eksistensialisme memberi individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, apa yang benar untuk saya.  Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subyektivitas pengalaman manusia, dan tindakan kongkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia atau realitas.
Menurut Sartre dalam Sadulloh (2011: 133), setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Selanjutnya menurut Sartre dalam Sadulloh (2011: 134), “Eksistensi mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri”.
Menurut Parkay dalam Sadulloh (2011: 134) terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya  atheistic.

1)        Realitas

Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung.

2)        Pengetahuan

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkan pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

3)        Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar.

4)        Pendidikan

Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi dalam Sadulloh (2011: 137) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan, manusia. Sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

a.         Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.

b.        Kurikulum

Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulumm yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi di mana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bias sejarah, filsafat, sastra, dan sebaginya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Hal tersebut seperti yang pernah dikemukakan oleh Elis dalam Sadulloh (2011: 138):
The humanistic and the arts are often viewed as appropriate subject areas which further the necessary introspection and reflection. Students are encouraged to pursue projects that will help them develop needed skills and requisite knowledge”
Pelajaran secara perorangan harus menggunakan pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran, dan keterampilan intelektual untuk mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berpikir reflektif. Sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori pengetahuan. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.

c.         Proses belajar mengajar

Menurut kneller dalam Sadulloh (2011: 138) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan “engkau” (Tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, di mana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, di mana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur, maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

d.        Peranan guru

Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene, seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian  bersama”.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.

Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif  dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa  memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum di mana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power dalam Sadulloh (2011: 140) mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan Eksistensialisme sebagai berikut:

a.         Tujuan pendidikan

Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan

b.        Status siswa

Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya.Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.

c.         Peranan guru

Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.

d.        Kurikulum

Yang diutamakan adalah kurikulum liberal.Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia.Kebebasan memiliki aturan-aturan.Oleh karena itu, di sekolah diajarkan pendidika sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.

e.         Metode

Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung.Metode penyampaian harus logis dan psikologis.Metode Conditioning (SR) merupakan metode utama bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.

5)        Potret Guru Eksistensialis

Fred telah mengajar Bahasa Inggris delapan tahun lalu di suatu SMU daerah pinggiran kita, Fred Winston mulai meragukan nilai dari apa yang diajarkan pada siswa. Sekalipun ia dapat melihat suatu penggunaan praktis dan terbatas pada pengetahuan dan keterampilan mengajar yang ia ajarkan, ia merasa tidak optimal dengan pekerjaan mengajar yang ia lakukan dan muncullah suatu rasa bosan dengan petunjuk kurikulum yang telah digariskan dalam GBPP yang dibuat secara sentralistik dan tidak imaginatif.
Selama delapan tahun Fred secara gradual mengembangkan suatu gaya mengajar yang menempatkan penekanan pada siswa yang mencari siapa mereka. Ia terus mengajar pengetahuan dan keterampilan yang harus ia ajarkan, namun ia memperjelas bahwa apa yang dipelajari para siswa dari dirinya haruslah digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting bagi mereka. Misalnya, saat ini ia seringkali memberi tugas-tugas menulis yang mendorong para siswa untuk melihat ke dalam agar dapat mengembangkan pengetahuan diri yang lebih besar. Fred juga dengan teliti, tahu tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang masih berusaha dijawab dirinya sendiri.
Pendekatan Fred pada pengajaran mungkin terangkum dengan stiker bemper pada mobil sport “gugat otoritas”. Berbeda dengan kebanyakan rekan gurunya, ia menginginkan para siswanya bereaksi secara kritis dan skeptis pada apa yang ia ajarkan pada mereka. Ia juga mendorong mereka untuk berpikir secara mendalam dan berani mengenai makna kehidupan, kecantikan, cinta, dan kematian. Ia menilai keefektifannya dengan tataran dimana para siswa mampu dan mau menjadi lebih tahu tentang pilihan-pilihan yang terbuka bagi mereka.



3.        PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Filsafat pendidikan adalah terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan dalam pandangan dan kaidah bidang pendidikan yang berusaha membangun teori-teori hakikat manusia, masyarakat, dan dunia, menentukan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam lapangan pendidikan.
Salah satu filsafat pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan pendidikan adalah Eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia.

Eksistensialisme berpandangan bahwa realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus melihat apa yang ada dalam diri kita sendiri. Pengetahuan tergantung pada pemahaman dan interpretasi manusia terhadap realitas. Untuk nilai, manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Eksistensialisme sebagai paham yang bersifat liberal, memandang individu sebagai makhluk unik dan bertanggung jawab atas keunikannya. Pendidikan hanya dilakukan manusia, dan memiliki tujuan mendorong individu mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri. Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Adapun proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan ”Dialog”. Dan metode yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik. Mengenai kurikulum, kurikulum yang memberikan para peserta didik kebebasan individual yang luas. Begitu pula guru harus memberi kebebasan peserta didik memilih dan memberi pengalaman yang akan menemukan makna dari kehidupan mereka sendiri, namun guru pun harus mampu membimbing dan mengarahkan peserta didik dengan seksama.




DAFTAR  PUSTAKA
Achmadi, asmoro. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Bernadien, win usuluddin. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Ihsan, fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta

Sadulloh, Uyoh. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Solihin.2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern.Bandung : Pustaka Setia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar