1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Filsafat, selain memiliki lapangan tersendiri, ia memikirkan asumsi
fundamental cabang-cabang pengetahuan lainnya. Apabila filsafat berpaling
perhatiannya pada sains, maka akan lahir filsafat sains. Apabila filsafat
menguji konsep dasar hukum, maka akan lahir filsafat hukum dan apabila filsafat
berhadapan dan memikirkan pendidikan, maka akan lahirlah filsafat pendidikan.
Filsafat berusaha untuk memahami realitas secara menyeluruh, dengan
menjelaskannya secara umum dan sistematis. Begitu pula dengan filsafat
pendidikan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya
dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam memilih tujuan dan
kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama filsafat mengkoordinasi hasil-hasil
penemuan sains yang berlainan dan berbeda-beda, maka filsafat pendidikan
menafsirkan penemuan-penemuan tersebut berkaitan dengan pendidikan.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti
materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lainnya. Karena
filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat
beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan
berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran dalam filsafat itu sendiri.
Berdasarkan
uraian diatas, makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai filsafat
pendidikan eksistensialisme.
2.
PEMBAHASAN
2.1
Definisi filsafat
Secara
etimologis, kata filsafat memiliki arti yang sepadan dengan kata “falsafah” dalam bahasa Arab atau kata “philosophy” dalam bahasa Inggris, atau
kata “philosophie” dalam bahasa
Perancis dan Belanda, atau “philosophier”
dalam bahasa Jerman. Semua kata itu berasal dari kata Latin “philosophia” sebuah kata benda yang
merupakan hasil dari kegiatan “philosophien”
sebagai kata kerjanya. Kata “philosophia”
berasal dari bahasa Yunani, yakni ”philein”
(mencintai) atau “philia”
(persahabatan, atau tertarik kepada…) dan
“Sophos” (kebijaksanaan,
keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Kata yang hampir sama dengan “philien” atau “philia” dan “Sophos”
tersebut juga dijumpai dalam bahasa Latin, yaitu: “philos” (teman atau sahabat) dan “Sophia” (kebijaksanaan)
Dengan
demikian, secara etimologis kata filsafat dapat diartikan sebagai cinta atau
kecenderungan akan kebijaksanaan, atau cinta secara mendalam akan kebijaksanaan
atau cinta sedalam-dalamnya akan kearifan atau cinta secara sungguh-sungguh
terhadap pandangan, kebenaran (love of
wisdom or love of the vision or truth)
Sementara itu, secara terminologis filsafat dapat diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Filsafat dapat pula dimengerti sebagai proses reflektif dari budi manusia yang
mengarah pada kejelasan (clarification),
kecerahan (enlightenmen), keterangan
(explanation), pembenaran (justification), pengertian sejati (insight), dan penyatupaduan (integration). Filsafat dalam arti formal
biasa dipahami sebagai proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang dijunjung tinggi.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah hasil
akal manusia untuk mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya.
2.2
Definisi filsafat pendidikan
Filsafat
pendidikan menurut Al-Syaibany (dalam Sadulloh, 2011: 71) adalah:
“Pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang
pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah
umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis”
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat
formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan
merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan
masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a) Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan
berusaha untuk mencapainya
b) Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk
yang menerima pendidikan
c) Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu proses social
d) Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan
akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya Al-Syaibany (dalam Sadulloh, 2011: 72) berpandangan bahwa
filsafat pendidikan, seperti halnya filsafat umum, berusaha mencari yang hak
dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Filsafat
pendidikan berusaha untuk mendalami konsep-konsep pendidikan dan memahami
sebab-sebab yang hakiki dari masalah pendidikan. Filsafat pendidikan berusaha
juga membahas tentang segala yang mungkin mengarahkan proses pendidikan.
Kneller (dalam Sadulloh, 2011: 72), filsafat pendidikan merupakan
aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan.Seperti halnya filsafat, filsafat
pendidikan dapat dikatakan spekulatif, preskiptif, dan analitik.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan
adalah terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan dalam pandangan dan kaidah
bidang pendidikan yang berusaha membangun teori-teori hakikat manusia,
masyarakat, dan dunia, menentukan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam
lapangan pendidikan.
2.3
Filsafat pendidikan Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan
pada pengalaman-pengalaman individu. Eksistensialisme memberi individu suatu
jalan berpikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, apa yang benar untuk
saya. Secara umum, eksistensialisme
menekankan pilihan kreatif, subyektivitas pengalaman manusia, dan tindakan
kongkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat
manusia atau realitas.
Menurut Sartre dalam Sadulloh (2011: 133), setiap
individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada
untuk dimaknai. Selanjutnya menurut Sartre dalam Sadulloh (2011: 134),
“Eksistensi mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di
panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri”.
Menurut Parkay dalam Sadulloh (2011: 134) terdapat dua
aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya atheistic.
1)
Realitas
Eksistensialisme merupakan filsafat
yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara
manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya
benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran
akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan
yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada
bersama dengan manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna
karena manusia.
Bagi eksistensialisme, benda-benda
materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau
tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini
bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan
sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung.
2)
Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme
banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang
menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana
benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung
pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di
sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan
untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di
sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu
disiplin yang kaku di mana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran
tersebut. Biarkan pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran
dalam kebenaran.
3)
Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap
nilai menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu
cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling
sukar.
4)
Pendidikan
Dalam hubungannya dengan pendidikan,
Sikun Pribadi dalam Sadulloh (2011: 137) mengemukakan bahwa eksistensialisme
berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu
dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup,
hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan, manusia. Sedangkan pendidikan
hanya dilakukan oleh manusia.
a.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap
individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap
individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang
pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b.
Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada
apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul
dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang
luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulumm yang memberi para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu
mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata
pelajaran merupakan materi di mana individu akan dapat menemukan dirinya dan
kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas
adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa
anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun
bagi yang lainnya mungkin saja bias sejarah, filsafat, sastra, dan sebaginya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang
besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar
individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar
harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Hal
tersebut seperti yang pernah dikemukakan oleh Elis dalam Sadulloh (2011: 138):
“The
humanistic and the arts are often viewed as appropriate subject areas which
further the necessary introspection and reflection. Students are encouraged to
pursue projects that will help them develop needed skills and requisite
knowledge”
Pelajaran secara perorangan harus menggunakan
pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran, dan keterampilan intelektual
untuk mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berpikir reflektif.
Sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman.
Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori pengetahuan. Oleh
karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c.
Proses belajar mengajar
Menurut kneller dalam Sadulloh (2011:
138) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari
pandangan Martin Buber tentang “dialog”.
Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, di mana setiap
pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan
antara “aku” dan “engkau” (Tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, di mana seseorang memaksakan
kehendaknya kepada orang lain sebagai objek. Menurut Buber kebanyakan proses
pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau
pada pengetahuan yang tidak fleksibel, di mana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa
guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru
disamakan dengan instruktur, maka ia hanya akan merupakan perantara yang
sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap
seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap
sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari
transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan
menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar,
pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan
antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan
diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara
pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan
sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan
suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d.
Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak
bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia
temukan sendiri di dalamnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene,
seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk
memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang
dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk
memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat, bahwa kebenaran
tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu,
siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa
harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa
dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam
arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas
dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme.
Siswa memiliki hak untuk menolak
interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum di mana para
siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan
kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power dalam Sadulloh (2011: 140) mengemukakan beberapa
implikasi filsafat pendidikan Eksistensialisme sebagai berikut:
a.
Tujuan pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam
semua bentuk kehidupan
b.
Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas
pilihannya.Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
c.
Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin
guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
d.
Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal.Kurikulum liberal
merupakan landasan bagi kebebasan manusia.Kebebasan memiliki aturan-aturan.Oleh
karena itu, di sekolah diajarkan pendidika sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan
untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial.
Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
e.
Metode
Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak
langsung.Metode penyampaian harus logis dan psikologis.Metode Conditioning (SR) merupakan metode utama
bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.
5)
Potret Guru Eksistensialis
Fred telah mengajar Bahasa Inggris
delapan tahun lalu di suatu SMU daerah pinggiran kita, Fred Winston mulai
meragukan nilai dari apa yang diajarkan pada siswa. Sekalipun ia dapat melihat
suatu penggunaan praktis dan terbatas pada pengetahuan dan keterampilan
mengajar yang ia ajarkan, ia merasa tidak optimal dengan pekerjaan mengajar
yang ia lakukan dan muncullah suatu rasa bosan dengan petunjuk kurikulum yang
telah digariskan dalam GBPP yang dibuat secara sentralistik dan tidak
imaginatif.
Selama delapan tahun Fred secara
gradual mengembangkan suatu gaya mengajar yang menempatkan penekanan pada siswa
yang mencari siapa mereka. Ia terus mengajar pengetahuan dan keterampilan yang
harus ia ajarkan, namun ia memperjelas bahwa apa yang dipelajari para siswa
dari dirinya haruslah digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
penting bagi mereka. Misalnya, saat ini ia seringkali memberi tugas-tugas
menulis yang mendorong para siswa untuk melihat ke dalam agar dapat
mengembangkan pengetahuan diri yang lebih besar. Fred juga dengan teliti, tahu
tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang masih berusaha dijawab dirinya
sendiri.
Pendekatan Fred pada pengajaran
mungkin terangkum dengan stiker bemper pada mobil sport “gugat otoritas”.
Berbeda dengan kebanyakan rekan gurunya, ia menginginkan para siswanya bereaksi
secara kritis dan skeptis pada apa yang ia ajarkan pada mereka. Ia juga
mendorong mereka untuk berpikir secara mendalam dan berani mengenai makna
kehidupan, kecantikan, cinta, dan kematian. Ia menilai keefektifannya dengan
tataran dimana para siswa mampu dan mau menjadi lebih tahu tentang
pilihan-pilihan yang terbuka bagi mereka.
3.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Filsafat pendidikan adalah terapan dari filsafat umum yang dilaksanakan
dalam pandangan dan kaidah bidang pendidikan yang berusaha membangun
teori-teori hakikat manusia, masyarakat, dan dunia, menentukan tujuan-tujuan
yang harus dicapai dalam lapangan pendidikan.
Salah satu filsafat pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap
pengembangan pendidikan adalah Eksistensialisme. Eksistensialisme
merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi.
Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia.
Eksistensialisme berpandangan bahwa realitas adalah
kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus melihat
apa yang ada dalam diri kita sendiri. Pengetahuan tergantung pada pemahaman dan
interpretasi manusia terhadap realitas. Untuk nilai, manusia memiliki kebebasan
untuk memilih. Eksistensialisme sebagai paham yang bersifat liberal, memandang
individu sebagai makhluk unik dan bertanggung jawab atas keunikannya.
Pendidikan hanya dilakukan manusia, dan memiliki tujuan mendorong individu
mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri. Memberi bekal
pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Adapun
proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan ”Dialog”.
Dan metode yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan
karakter yang baik. Mengenai kurikulum, kurikulum yang memberikan para peserta
didik kebebasan individual yang luas. Begitu pula guru harus memberi kebebasan
peserta didik memilih dan memberi pengalaman yang akan menemukan makna dari
kehidupan mereka sendiri, namun guru pun harus mampu membimbing dan mengarahkan
peserta didik dengan seksama.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, asmoro. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Bernadien, win usuluddin. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta :
Pustaka Belajar
Ihsan, fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta
Sadulloh, Uyoh. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta
Solihin.2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern.Bandung :
Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar