Rabu, 05 Februari 2014

KURIKULUM DALAM PERSPEKTIF LANDASAN FILOSOFIS


A.      Definisi Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latin curir yaitu pelari, dan curere yang artinya tempat berlari. Pada awalnya kurikulum adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Kemudian pengertian kurikulum tersebut digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
Dalam Dictionary of Education dikatakan bahwa curriculum is a general overall plan of the content or specific studies of that the school should offer the student by way qualifying him for graduation or certification or for entrance into a professional or a vocational field.
Dalam buku teks pertama In The Curriculum, John Franklin Bobbitt (1918) menyatakan bahwa, “Curriculum as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the curriculum as the course of deeds and experiences through which children become the adults they should be, for success in adult society” (kurikulum, sebagai suatu gagasan, telah memiliki akar kata Bahasa Latin Race-Source, menjelaskan kurikulum sebagai “mata pelajaran perbuatan” dan pengalaman yang dialami anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak sukses dalam masyarakat orang dewasa).
Definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19 yang berbunyi: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat 3 disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan:
1.         Peningkatan iman dan takwa;
2.         Peningkatan akhlak mulia;
3.         Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4.         Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5.         Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6.         Tuntutan dunia kerja;
7.         Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8.         Agama;
9.         Dinamika perkembangan global;
10.     Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.   
Dari berbagai pengertian kurikulum diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan suatu usaha terencana dan terorganisir untuk menciptakan suatu pengalaman belajar bagi siswa di bawah tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan lembaga pendidikan tersebut.

B.       Definisi Filosofis
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “philos” dan “sophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan Sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dari arti harfiah ini, Filsafat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Henderson dalam Kedavra (2013: 1) mengemukakan “popularly philosophy means one’s general view of live of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Filosofis artinya berdasarkan filsafat. Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang aspek kurikulum. Untuk itu tiap keputusan harus ada dasarnya. Jadi filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat sesuatu.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.

C.      Landasan Filosofis dalam Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum didalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Landasan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembang kurikulum ketika hendak mengembangkan atau merencanakan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik lembaga berupa sekolah maupun lembaga non sekolah.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antar pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendiidkan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Falsafah atau pandangan hidup adalah sistem nilai dan berbagai norma yang disetujui, baik oleh individu maupun masyarakat suatu bangsa. Dari falsafah pendidikan, diperoleh gambaran ideal manusia yang dicita-citakan oleh masyarakat dalam bangsa yang bersangkutan.
Landasan filosofis merupakan asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat pengetahuan dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak mengembangkan kurikulum. Asumsi-asumsi filosofis tersebut berimplikasi pada perumusan tujuan pendidikan, pengembangan isi atau materi pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan peranan pendidik.
Filsafat sebagai sebuah sistem nilai menjadi dasar yang menentukan tujuan pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik dan dijadikan pedoman bagi masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai, karena kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan diri dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya sendiri.
Dalam pengembangan kurikulum, filsafat menjawab hal-hal mendasar bagi pengembangan kurikulum, antara lain: Ke mana anak didik akan dibawa? Masyarakat yang bagaimana yang akan dibentuk melalui pendidikan tersebut? Apa hakikat pengetahuan yang akan diajarkan kepada anak didik? Norma atau sistem yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana proses pendidikan harus dijalankan?
Demikian mendasarnya pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat. Dengan kedudukannya yang begitu mendasar, filsafat memiliki paling tidak empat fungsi, yaitu:
1.      Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan;
2.      Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai;
3.      Filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan;
4.      Filsafat dapat menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Filsafat juga merupakan proses berpikir. Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Berfikir filosofis adalah berfikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut menurut Sidi Gazalba dalam Kedavra (2013: 2) antara lain:
1.         Berpikir Radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensi terakhir.
2.         Berpikir Sistematis, adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur.
3.         Berpikir Universal, adalah tidak berpikir secaa khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya.
Orang yang berfilsafat selalu berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Filsafat memegang peranan penting dalam penyusunan & pengembangan kurikulum. Sama halnya dalam Filsafat Pendidikan, dikenal ada beberapa aliran filsafat, diantaranya perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme.
Perenialisme
Perenial berarti “abadi” , aliran ini beranggapan bahwa beberapa gagasan telah bertahan selama berabad-abad dan masih relevan saat ini seperti pada saat gagasan tersebut baru ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.

Essensialisme
Aliran filsafat essensialisme adalah suatu paham yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan yang lama, merujuk kepada pendidikan bersifat “tradisional” atau “back to basics” aliran ini dinamakan demikian karena filsafat ini berupaya menanamkan pada anak didik hal-hal “essensial” dari pengetahuan akademik dan perkembangan karakter Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains, dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.

Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif, seseorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan karenanya itu masing-masing individu bebas menetukan mana yang benar atau salah. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan: Bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
 
Progresivisme
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.

Rekonstruktivisme
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme

Daftar Rujukan:

Kedavra, Sevannisa. Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum. http://landasan-filosofis-pengembangan-kurikulum.htm. Diakses 16 September 2013 Pukul 14.15

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar