A.
Definisi Kurikulum
Secara
etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latin curir yaitu
pelari, dan curere yang artinya tempat berlari. Pada awalnya kurikulum
adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start
sampai dengan finish. Kemudian pengertian kurikulum tersebut digunakan dalam
dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang
sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh
pendidikan di lembaga pendidikan.
Dalam Dictionary of
Education dikatakan bahwa curriculum is a general overall plan of the
content or specific studies of that the school should offer the student by way
qualifying him for graduation or certification or for entrance into a
professional or a vocational field.
Dalam buku teks pertama In
The Curriculum, John Franklin Bobbitt (1918) menyatakan bahwa, “Curriculum
as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the
curriculum as the course of deeds and experiences through which children become
the adults they should be, for success in adult society” (kurikulum,
sebagai suatu gagasan, telah memiliki akar kata Bahasa Latin Race-Source,
menjelaskan kurikulum sebagai “mata pelajaran perbuatan” dan pengalaman yang
dialami anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak sukses dalam masyarakat
orang dewasa).
Definisi kurikulum yang
tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 19 yang berbunyi: “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat 3 disebutkan bahwa
kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan:
1.
Peningkatan iman dan takwa;
2.
Peningkatan akhlak mulia;
3.
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4.
Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5.
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6.
Tuntutan dunia kerja;
7.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8.
Agama;
9.
Dinamika perkembangan global;
10. Persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan.
Dari
berbagai pengertian kurikulum diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum
merupakan suatu usaha terencana dan terorganisir untuk menciptakan suatu
pengalaman belajar bagi siswa di bawah tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan untuk
mencapai suatu tujuan lembaga pendidikan tersebut.
B. Definisi Filosofis
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “philos” dan “sophia”. Philos, artinya
cinta yang mendalam, dan Sophia
adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dari arti harfiah ini, Filsafat diartikan
sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara popular filsafat sering
diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi
individu. Henderson dalam Kedavra (2013: 1) mengemukakan “popularly philosophy means one’s general view of live of men, of
ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”.
Dengan demikian maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat
secara filosofis memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan
nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Filosofis artinya
berdasarkan filsafat. Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan
dalam mengambil keputusan tentang aspek kurikulum. Untuk itu tiap keputusan
harus ada dasarnya. Jadi filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya,
yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat sesuatu.
Para pengembang
kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung
tinggi.
C. Landasan Filosofis dalam Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan
dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum didalam pendidikan
dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat
dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan
yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam.
Landasan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor-faktor yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembang kurikulum ketika
hendak mengembangkan atau merencanakan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik
lembaga berupa sekolah maupun lembaga non sekolah.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antar
pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi
tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta bagaimana interaksi tersebut
berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendiidkan, siapa pendidik dan
terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang
esensial, yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Falsafah atau pandangan hidup adalah sistem nilai dan berbagai
norma yang disetujui, baik oleh individu maupun masyarakat suatu bangsa. Dari
falsafah pendidikan, diperoleh gambaran ideal manusia yang dicita-citakan oleh
masyarakat dalam bangsa yang bersangkutan.
Landasan filosofis merupakan asumsi-asumsi tentang hakikat
realitas, hakikat manusia, hakikat pengetahuan dan hakikat nilai yang menjadi
titik tolak mengembangkan kurikulum. Asumsi-asumsi filosofis tersebut
berimplikasi pada perumusan tujuan pendidikan, pengembangan isi atau materi
pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan peranan
pendidik.
Filsafat sebagai sebuah
sistem nilai menjadi dasar yang menentukan tujuan pendidikan. Hal ini
mengandung arti bahwa pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik dan
dijadikan pedoman bagi masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang
harus dicapai, karena kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan
anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan diri dan dapat
hidup dalam sistem nilai masyarakatnya sendiri.
Dalam pengembangan
kurikulum, filsafat menjawab hal-hal mendasar bagi pengembangan kurikulum,
antara lain: Ke mana anak didik akan dibawa? Masyarakat yang bagaimana yang
akan dibentuk melalui pendidikan tersebut? Apa hakikat pengetahuan yang akan
diajarkan kepada anak didik? Norma atau sistem yang bagaimana yang harus
diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana proses
pendidikan harus dijalankan?
Demikian mendasarnya
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat. Dengan kedudukannya
yang begitu mendasar, filsafat memiliki paling tidak empat fungsi, yaitu:
1.
Filsafat dapat
menentukan arah dan tujuan pendidikan;
2.
Filsafat dapat
menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai;
3.
Filsafat dapat
menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan;
4.
Filsafat dapat
menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Filsafat juga merupakan proses berpikir.
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Berfikir filosofis adalah
berfikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut menurut Sidi
Gazalba dalam Kedavra (2013: 2) antara lain:
1.
Berpikir Radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, sampai
pada konsekuensi terakhir.
2.
Berpikir Sistematis, adalah berpikir logis yang bergerak selangkah
demi selangkah, dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan
saling berhubungan yang teratur.
3.
Berpikir Universal, adalah tidak berpikir secaa khusus, yang hanya
terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara
sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya.
Orang yang berfilsafat selalu berpikir secara
mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan
kebenaran.
Filsafat memegang peranan penting dalam
penyusunan & pengembangan kurikulum. Sama halnya dalam Filsafat Pendidikan,
dikenal ada beberapa aliran filsafat, diantaranya perenialisme, essensialisme,
eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme.
Perenialisme
Perenial berarti “abadi” , aliran ini
beranggapan bahwa beberapa gagasan telah bertahan selama berabad-abad
dan masih relevan saat ini seperti pada saat gagasan tersebut baru
ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan,
kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu.
Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari.
Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih
berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme
Aliran filsafat essensialisme adalah suatu paham
yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan yang lama, merujuk
kepada pendidikan bersifat “tradisional” atau “back to basics” aliran ini
dinamakan demikian karena filsafat ini berupaya menanamkan pada anak didik hal-hal
“essensial” dari pengetahuan akademik dan perkembangan karakter Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian
pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang berguna. Matematika, sains, dan mata pelajaran lainnya dianggap
sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di
masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih
berorientasi pada masa lalu.
Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif,
seseorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan
karenanya itu masing-masing individu bebas menetukan mana yang benar atau salah.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang
hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya
sendiri. Aliran ini mempertanyakan: Bagaimana saya hidup di dunia? Apa
pengalaman itu?
Progresivisme
Progresivisme menekankan pada pentingnya
melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman
belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar
peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut
dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan
sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti
pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan
masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk
apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran
ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme,
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap
pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat
progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum
Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan
dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan
aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan
dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Saat
ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi
pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih
menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme
Daftar Rujukan:
Pidarta,
Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta:
Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar